Posted by Admin on May 25, 2012 in Hukum islam,
Knowledge,
Pendidikan
19 comments
<p>Your browser does not
support iframes.</p>
Sebelumnya saya biasa ikut memenuhi
undangan tahlil untuk peringatan meninggalnya seseorang. Seminggu yang
lalu saya memperoleh undangan dari seorang guru agama untuk menghadiri haul
almarhumah orang tuanya, tetapi sebelum memenuhi undangan tersebut saya
memperoleh keterangan dari beberapa guru agama yang lain bahwa hal tersebut
dilarang karena termasuk bid”ah. Karena khawatir dan takut menyimpang dari
ketentuan Allah swt., saya mohon kiranya dapat diberikan jawaban mengenai hal
tersebut diatas secara lengkap berikut dalil2 dan rujukan2 yang mendasarinya
baik dari Al Qur’an, Sunnah Rasul, pendapat 4 mazhab dan juga para ahli agama.
Tahlil
7 Hari
Kebiasaan
mengadakan haul yang intinya hendak mengirim hadiah bacaan-bacaan al-Qur’an, tahlil,
dan doa-doa kepada si mayit dengan disesuaikan pada hitungan hari-hari tertentu
mengandung dua substansi permasalahan.
Pertama, sampai tidaknya pahala yang dihadiahkan kepada almarhum.
Kedua, menepatkan acara pada hitungan hari-hari tertentu, misal
ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000, dan mengulang tiap tahunnya, apakah seperti ini
bid’ah?
Jawaban permasalahan pertama, sampai tidaknya pahala yang dikirim kepada si mayit,
sebagian besar ulama keempat mazhab (Malikiyah, Hanafiyah, Syafi’iyah, dan
Hanbaliyah) berpendapat sampai pahalanya bacaan-bacaan baik al-Qur’an, tahlil,
dan doa-doa lainnya. Bahkan amal apa saja yang baik dalam rangka mendekatkan
diri kepada Allah swt, seperti bersedekah, infaq, dll, bila diniati ganjarannya
untuk orang yang telah meninggal, ganjaran itu akan sampai dan bermanfaat buat
si mayit.
Pendapat-pendapat itu didasarkan
pada ayat-ayat dan hadis:
1. Ayat ke 10 surat al-Hasyr.
“Dan orang-orang yang datang sesudah
mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami
dan saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah
Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang yang beriman;
Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”
2. Ayat ke 19 surat Muhammad.
” Maka ketahuilah, bahwa
Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah
ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan
perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal”
3. Hadis “idzaa maata al-insaan
inqatha’a ‘amaluhu illa min tsalaatsin, shadaqatin jaariyatin au ‘ilmin
untafa’u bihii au waladin shaalihin yad’uu lahu”
(Kematian seseorang menyebabkan
terputusnya segala amal perbuatannya [tidak ada pengaruhnya pada dia] kecuali
tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang saleh yang
mendoakannya) [HR. Muslim].
4. Hadis “man zaara qabra waalidaihi
faqara’a ‘indahu –au ‘indahumaa– yaasiin ghufira lahu” (Barang siapa menziarahi
qubur kedua orang tuanya, lantas membacakan untuk keduanya surat Yasin, maka
terampuni kedua orang tuanya” [HR. Ibnu 'Addiy].
5. Hadis kisah seseorang yang tanya
kepada Nabi :
“kaana lii abawaani ubirruhumaa
haala hayaatihimaa, fakaifa lii ubirruhumaa ba’da mautihimaa?”
(Saat kedua orang tuaku masih hidup
saya selalu memuliakannya, lantas bagaimana saya bisa berbuat
baik/memulyakannya setelah wafatnya?).
Dijawab oleh Nabi:
“inna al-birr ba’da al-maut an
tushalliya lahumaa ma’a shalaatika wa tashuuma lahumaa ma’a shiyaamika.”
([Kamu bisa] memulyakannya dengan
menghadiahkan pahala salat-salatmu dan pahala puasa-puasamu)
[HR. al-Daaruquthniy].
6. Hadis “iqra’uu ‘alaa mautaakum
yaasiin” (Bacakanlah untuk ahli qubur kalian surat Yasin” [HR. Abu Dawud].
Jawaban permasalahan yang kedua, soal waktu, yakni kenapa ditepatkan pada hari ke-7, ke-40,
dstnya.
Pertama-tama, mari kita bahas
terlebih dahulu “apa itu bid’ah” secara istilah (terminologi). Definisi bid’ah
yang paling terkenal di kalangan ulama adalah yang diberikan oleh Imam
al-Syatibiy, yaitu “suatu tata cara di dalam agama yang diciptakan untuk menandingi
(tata cara beribadah yang sesuai) syari’ah.
Kemudian untuk mengetahui dan
menguji apakah tahlil pada hari-hari ke-7, ke-40, dstnya termasuk bid’ah
atau tidak, kita masukkan permasalahan tersebut dalam rumus diatas lewat
pertanyaan berikut:
1. Apakah perbuatan menyesuaikan
acara pengiriman bacaan Qur’an, tahlil, doa, dan lain-lain dengan
hitungan hari tertentu itu termasuk rangkaian ibadah tahlil?
2. Apakah penentuan hari ke-7,
ke-40, ke-100 dstnya hanya sekedar kebiasaan saja dan bukan termasuk rangkaian
ritual tahlil itu sendiri?
3. Adakah keyakinan bahwa acara
tahlil itu harus dilakukan tepat pada hari-hari ke-7, ke-40, ke-100, dstnya
(seperti menyembelih hewan kurban harus pada tanggal 10/11/12/13 bulan
Dzulhijjah) sehingga seandainya dilakukan diluar hari-hari itu tahlil menjadi
tidak sah dan pahalanya tidak sampai?
Sepanjang pengetahuan kami penentuan
pelaksanaan tahlil pada hitungan hari-hari tertentu itu bukanlah bagian yang
tidak terpisahkan dari ritual tahlil itu sendiri. Itu hanya berdasar kebiasaan
saja (adat bukan ibadat) dan bukan bagian intern dari ibadah pengiriman pahala
bacaan dan doa, sehingga seandainya dilaksanakan di luar hari-hari itu tetap
sah dan biasa-biasa saja.
Orang-orang yang tahu tetap
berpendirian bahwa tindakan menyesuaikan acara tahlil pada hari-hari
tertentu itu tidak merupakan bagian atau suatu bentuk ibadah. Karena yang
dimaksud ibadah disitu adalah tahlil itu sendiri. Jika demikian, maka
tindakan menyesuaikan hari untuk acara tahlil itu tentu tidak bisa dianggap
sebagai bid’ah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar