Senin, 06 Mei 2013

Materi App Server

Pendahuluan tentang AppServ
Appserv merupakan aplikasi yang berfungsi untuk  install beberapa program antara lain Apache, PHP, MySQL dalam waktu yang singkat. Banyak orang mengeluh-eluhkan tentang susahnya install Apache, PHP, MySQL. Dengan adanya AppServ, mempermudahkan orang untuk membuat web server dan database.
AppServ ini mempunyai beberapa versi antara lain : AppServ versi 2.5.9 , 2.5.10 , 2.6.0 (terbaru).
Tujuan aplikasi AppServ antara lain adalah mempermudah dalam membuat database dan membuat web server. Dalam membuat database biasanya yang digunakan adalah MySql dan dalam pembuatan skrip menggunakan pHp. Antara pHp dan MySql saling berhubungan disebabkan skrip pada pHp akan muncul pada halaman web dan dimasukan dalam MySql (database). Jadi awal pembuatan web, dilakukan menggunakan skrip html (untuk penampilan) dan skrip pHp untuk proses dari skrip html. Apabila kita mengetikan atau akan memasukan data kedalam database yang terhubung dengan web, pada halaman web browser kita masukan yang akan diinput dan kemudian akan diproses oleh pHp dan akan dimasukan kedalam database.

Pengertian App Server

Pengertian Appserv , Appserv merupakan aplikasi yang berfungsi untuk  installl beberapa program antara lain Apache, PHP, MySQL dalam 1 menit. Banyak orang di dunia ini mempunyai masalah ketika Install Apache, PHP, MySQL karena butuh waktu lama untuk mengkonfigurasi dan kadang kala dapat menyebabkan pusing. Dengan adanya Appserv orang sangat dimanjakan sekali :)

Beberapa Fitur Appserv adalah

    Apache
    PHP
    MySQL
    phpMyAdmin

Tujuan dari Aplikasi Appserv

Tujuan dari AppServ adalah Mempermudah untuk menginstal. Anda dapat membuat web server, database server dalam 1 menit beberapa pertanyaan AppServ dapat menjadi Produksi nyata Web Server atau Database Server. OS yang digunakan bisa menggunkan Os windows ataupun OS linux Tetapi Windows OS tidak cukup baik untuk beban berat pada Anda memori web atau database server. Kami sarankan Anda untuk menggunakan Linux / Unix untuk servis berat beban kerja. Karena Linux / Unix memiliki kecepatan yang lebih dan memerlukan sedikit memori dan penggunaan CPU. Jika Anda membandingkan menyerang ketika menggunakan Windows OS dan Linux / Unix anda dapat menemukan perbedaan yang sangat kecepatan. misalnya Windows dapat melayani 1000 user per detik tetapi Linux / Unix OS dapat menangani lebih dari 1000 user per detik dan makan sedikit memori dan cpu.

cat: Os Windows juga bisa digunkan untuk program ini, cuman kalau dabase server anda berat, di sarankan menggunkan OS linux :)

Anda Bisa dwonload Propram Aplikasi Appserv disini http://www.appservnetwork.com/

Sumber: http://www.appservnetwork.com/

Kamis, 21 Februari 2013

Hukum Memakai Celana Ketat dalam Shalat




Alhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.

Allah Ta’ala memerintahkan kepada orang yang hendak shalat untuk berhias diri sebagaimana dalam firman-Nya,

يَا بَنِي آَدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) masjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al A’rof: 31). Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang hendak shalat diperintahkan untuk berhias diri. Tidak seperti halnya sebagian orang yang ketika shalat malah menggunakan pakaian tidur atau pakaian kerjanya (yang penuh kotor) dan tidak berhias diri kala itu. Ingatlah bahwasanya Allah itu jamiil (indah) dan menyukai yang indah.

Para ulama menganggap bahwa batasan minimal berhias diri (saat shalat) yang dimaksudkan adalah menutup aurat[1]. Oleh karena itu, para ulama biasa menyebutkan bahwa menutup aurat merupakan salah satu syarat sah shalat. Shalat jadi tidak sah karena aurat terbuka. Konsekuensi dari pernyataan wajibnya menutup aurat yaitu yang penting tertutup meskipun pakaian yang dikenakan ketat atau membentuk lekuk tubuh, dan ketika itu shalatnya tetap sah. Demikianlah yang jadi pegangan para ulama madzhab dan ulama besar lainnya. Berikut kami nukilkan pendapat-pendapat mereka.

Madzhab Hanafi

Ibnu ‘Abidin rahimahullah dalam catatan kakinya (hasyiyah-nya) terhadap kitab Ad Darul Mukhtar mengatakan,

( ولا يضر التصاقه ) أي : بالألية مثلا

“Tidak mengapa memakai pakaian yang ketat yang menampakkan bentuk bokong, misalnya.” Dalam Syarh Al Maniyyah disebutkan,

أما لو كان غليظا لا يرى منه لون البشرة إلا أنه التصق بالعضو وتشكل بشكله فصار شكل العضو مرئيا ، فينبغي أن لا يمنع جواز الصلاة ، لحصول الستر

“Adapun jika pakaian yang dikenakan itu tebal dan tidak tampak warna kulit, namun pakaian tersebut ketat dan menampakkan bentuk anggota tubuh, maka seperti ini janganlah dilarang untuk shalat karena pakaian tersebut sudah menutupi aurat.” [2]

Madzhab Syafi’i

An Nawawi rahimahullah berkata,

فلو ستر اللون ووصف حجم البشرة كالركبة والألية ونحوها صحت الصلاة فيه لوجود الستر ، وحكي الدارمي وصاحب البيان وجهاً أنه لا يصح إذا وصف الحجم ، وهو غلط ظاهر

“Jika pakaian yang dikenakan telah menutupi warna kulit dan bentuk lekuk tubuh seperti bentuk paha atau bokong dan semacamnya masih tampak, maka shalatnya tetap sah karena aurat sudah tertutup. Sedangkan Ad Darimi dan penulis kitab Al Bayan memiliki pendapat lain, bahwa dalam kondisi demikian shalatnya tidak sah karena menampakkan bentuk lekuk tubuh. Namun pernyataan ini jelas keliru.”[3]

Madzhab Maliki

Dalam salah kitab fiqh Maliki, Al Fawakih Ad Dawani disebutkan,

( وَيُجْزِئُ الرَّجُلَ الصَّلاةُ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ ) وَيُشْتَرَطُ فِيهِ عَلَى جِهَةِ النَّدْبِ كَوْنُهُ كَثِيفًا بِحَيْثُ لا يَصِفُ وَلا يَشِفُّ ، وَإِلا كُرِهَ وَكَوْنُهُ سَاتِرًا لِجَمِيعِ جَسَدِهِ . فَإِنْ سَتَرَ الْعَوْرَةَ الْمُغَلَّظَةَ فَقَطْ أَوْ كَانَ مِمَّا يَصِفُ أَيْ يُحَدِّدُ الْعَوْرَةَ . . . كُرِهَتْ الصَّلاةُ فِيهِ مَعَ الإِعَادَةِ فِي الْوَقْتِ

“Dibolehkan bagi seseorang shalat dengan satu pakaian. Disyaratkan di dalamnya dengan maksud disunnahkan, yaitu pakaiannya hendaknya tebal, tidak menampakkan bentuk lekuk tubuh, dan tidak pula tipis. Jika tidak demikian, maka hal itu dimakruhkan. Jadi hendaknya seluruh aurat tertutup. Jika aurat tertutup dengan sesuatu yang tebal saja atau menampakkan bentuk lekuk tubuh …, shalat dalam keadaan seperti itu dimakruhkan dan shalatnya hendaknya diulangi ketika itu.”[4]

Dalam perkataan ini menunjukkan bahwa shalat dalam keadaan pakaian yang ketat (yang membentuk lekuk tubuh) dianggap makruh dan bukan haram.

Madzhab Hambali

Al Bahuti rahimahullah mengatakan,

ولا يعتبر ان لا يصف حجم العضو لأنه لا يمكن التحرز عنه

“Tidak teranggap pernyataan tidak membentuk lekuk tubuh karena ini adalah suatu hal yang sulit dihindari.”[5]

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,

وَإِنْ كَانَ يَسْتُرُ لَوْنَهَا ، وَيَصِفُ الْخِلْقَةَ ، جَازَتْ الصَّلَاةُ ؛ لِأَنَّ هَذَا لَا يُمْكِنُ التَّحَرُّزُ مِنْهُ ، وَإِنْ كَانَ السَّاتِرُ صَفِيقًا

“Jika pakaian tersebut sudah menutupi warna kulit secara sempurna, namun menampakkan bentuk lekuk tubuh (alias ketat, pen), shalatnya tetap sah karena seperti ini sulit dihindari walaupun dengan pakaian yang sempit asalkan menutupi aurat.”[6]

Demikian pendapat para ulama madzhab.

Pendapat Ulama Besar Lainnya

Sayyid Sabiq rahimahullah mengatakan,

الواجب من الثياب ما يستر العورة وإن كان الساتر ضيقا يحدد العورة

“Pakaian yang wajib dikenakan (ketika shalat) adalah yang menutupi aurat walaupun dengan pakaian yang sempit yang menampakkan bentuk lekuk tubuh.”[7]

Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah berpendapat bahwa orang yang berpakaian ketat saat shalat, shalatnya tetap sah namun ia berdosa. Beliau mengatakan,

الثياب الضيقة التي تصف أعضاء الجسم وتصف جسم المرأة وعجيزتها وتقاطيع أعضائها لا يجوز لبسها ، والثياب الضيقة لا يجوز لبسها للرجال ولا للنساء ، ولكن النساء أشدّ ؛ لأن الفتنة بهن أشدّ . أما الصلاة في حد ذاتها ؛ إذا صلى الإنسان وعورته مستورة بهذا اللباس ؛ فصلاته في حد ذاتها صحيحة ؛ لوجود ستر العورة ، لكن يأثم من صلى بلباس ضيق ؛ لأنه قد يخل بشيء من شرائع الصلاة لضيق اللباس ، هذا من ناحية ، ومن ناحية ثانية : يكون مدعاة للافتتان وصرف الأنظار إليه ، ولا سيما المرأة ، فيجب عليها أن تستتر بثوب وافٍ واسعٍ ؛ يسترها ، ولا يصف شيئًا من أعضاء جسمها ، ولا يلفت الأنظار إليها ، ولا يكون ثوبًا خفيفًا أو شفافًا ، وإنما يكون ثوبًا ساترًا يستر المرأة سترًا كاملاً

“Pakaian ketat yang masih menampakkan bentuk lekuk tubuh termasuk pada wanita di mana pakaian tersebut tipis dan terpotong pada beberapa bagian, seperti ini tidak boleh dikenakan. Pakaian semacam ini tidak boleh dikenakan pada laki-laki maupun pada wanita, dan pada wanita larangannya lebih keras dikarenakan godaan pada mereka yang lebih dahsyat. Adapun keabsahan shalatnya tergantung bagaimana pakaiannya. Jika seseorang shalat dan auratnya tertutup dengan pakaian tersebut, maka shalatnya dalam keadaan seperti ini sah karena sudah menutupi aurat. Akan tetapi ia berdosa jika shalat dengan pakaian ketat semacam itu. Alasannya karena ia telah meninggalkan perkara yang disyari’atkan dalam shalat. Alasan lainnya, berpakaian semacam ini dapat memalingkan pandangan orang lain padanya, lebih-lebih lagi pada wanita. Maka hendaklah berpakaian dengan pakaian longgar dan tidak ketat. Janganlah sampai menampakkan bentuk lekuk tubuh sehingga dapat memalingkan pandangan orang lain padanya. Jangan pula memakai pakaian yang tipis. Hendaklah berpakaian yang menutupi aurat dan pada wanita berpakaian dengan menutupi auratnya secara sempurna.”[8]

Penutup

Nukilan-nukilan di atas bukan berarti kami ingin melegalkan pakaian ketat dalam shalat. Pakaian ketat sudah sepatutnya dijauhi ketika bermunajat pada Allah dalam shalat. Karena ini sama saja menafikan perintah untuk berhias diri ketika shalat. Intinya, maksud bahasan di atas adalah apakah shalat dengan pakaian ketat sah ataukah tidak?[9]

Wallahu Ta’ala a’lam. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Wa billahit taufiq. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.

Finished on 6th Rabi’ul Awwal 1432 H (09/02/2011) at Panggang-GK

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id
[1] Sebagaimana yang pernah kami baca dalam Syarhul Mumthi’, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin lebih setuju jika istilah menutup aurat dalam shalat digunakan istilah “berhias diri (memakai ziinah)”.

[2] Hasyiyah Daril Mukhtar, Ibnu ‘Abidin, Mawqi’ Ya’sub, 1/441

[3] Al Majmu’, Yahya bin Syarf An Nawawi, Mawqi’ Ya’sub, 3/170

[4] Al Fawakih Ad Dawani, Mawqi’ Al Islam, 2/437

[5] Ar Rowdhul Murbi’, Al Bahuti, Mawqi’ Umil Kitab, 1/16

[6] Al Mughni, Ibnu Qudamah, Darul Fikri, 1/651

[7] Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, Mawqi’ Ya’sub, 1/127

[8] Al Muntaqo min Fatawa Al Fauzan, Asy Syamilah, 61/2

[9] Bahasan ini adalah faedah dari bahasan Syaikh Sholeh Al Munajjid hafizhohullah dalam Fatawa Al Islam Sual wa Jawab soal no. 46529.


Dari artikel 'Hukum Memakai Celana Ketat dalam Shalat — Muslim.Or.Id'

Kriteria Sesat MUI



saat penutupan rakernas MUI di hotel sari pan facific,jl mh thamrin,Jakarta tepatnya hari selasa 6 november 2007  merumuskan 10 kategori atau kriteria sesat menurut majlis ulama indonesia

10 kriteria tersebut diantaranya :

1. Mengingkari salah satu dari rukun iman yang 6.

2. Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Alquran dan sunnah.


3. Meyakini turunnya wahyu setelah Alquran.


4. Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Alquran.


5. Melakukan penafsiran Alquran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir.


6. Mengingkari kedudukan hadis nabi sebagai sumber ajaran Islam.


7. Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul.


8. Mengingkari Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir.


9. Mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah, seperti haji tidak ke baitullah, salat wajib tidak 5 waktu.


10. Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya.


tetapi menurut  Sekretaris Umum MUI Ichwan Syam mengatakan, tidak serta merta seseorang atau kelompok dikelompokkan atau di katakan sesat,hal tersebut Butuh waktu dan pengkajian mendalam untuk mengeluarkan fatwa sesat. Kita teliti, dikaji dulu, baru dikeluarkan fatwanya,” ujarnya.

dan tidak ada satupun dari kriteria diatas yang terdapat dalam majlis dzikir manaqib syekh abdul qodir jaelaani r.a yang di pimpin abah....
lalu kenapa masih ada yang mengatakan sesat,justru yang mengatakan itu yang patut dipertanyakan...........????

Apakah Bid’ah?


Posted by Admin on May 25, 2012 in Hukum islam, Knowledge, Pendidikan 19 comments
<p>Your browser does not support iframes.</p>
Sebelumnya saya biasa ikut memenuhi undangan tahlil untuk peringatan meninggalnya seseorang. Seminggu yang lalu saya memperoleh undangan dari seorang guru agama untuk menghadiri haul almarhumah orang tuanya, tetapi sebelum memenuhi undangan tersebut saya memperoleh keterangan dari beberapa guru agama yang lain bahwa hal tersebut dilarang karena termasuk bid”ah. Karena khawatir dan takut menyimpang dari ketentuan Allah swt., saya mohon kiranya dapat diberikan jawaban mengenai hal tersebut diatas secara lengkap berikut dalil2 dan rujukan2 yang mendasarinya baik dari Al Qur’an, Sunnah Rasul, pendapat 4 mazhab dan juga para ahli agama.
Tahlil 7 Hari
Kebiasaan mengadakan haul yang intinya hendak mengirim hadiah bacaan-bacaan al-Qur’an, tahlil, dan doa-doa kepada si mayit dengan disesuaikan pada hitungan hari-hari tertentu mengandung dua substansi permasalahan.
Pertama, sampai tidaknya pahala yang dihadiahkan kepada almarhum.
Kedua, menepatkan acara pada hitungan hari-hari tertentu, misal ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000, dan mengulang tiap tahunnya, apakah seperti ini bid’ah?
Jawaban permasalahan pertama, sampai tidaknya pahala yang dikirim kepada si mayit, sebagian besar ulama keempat mazhab (Malikiyah, Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanbaliyah) berpendapat sampai pahalanya bacaan-bacaan baik al-Qur’an, tahlil, dan doa-doa lainnya. Bahkan amal apa saja yang baik dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt, seperti bersedekah, infaq, dll, bila diniati ganjarannya untuk orang yang telah meninggal, ganjaran itu akan sampai dan bermanfaat buat si mayit.
Pendapat-pendapat itu didasarkan pada ayat-ayat dan hadis:
1. Ayat ke 10 surat al-Hasyr.
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”
2. Ayat ke 19 surat Muhammad.
” Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal”
3. Hadis “idzaa maata al-insaan inqatha’a ‘amaluhu illa min tsalaatsin, shadaqatin jaariyatin au ‘ilmin untafa’u bihii au waladin shaalihin yad’uu lahu”
(Kematian seseorang menyebabkan terputusnya segala amal perbuatannya [tidak ada pengaruhnya pada dia] kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang saleh yang mendoakannya) [HR. Muslim].
4. Hadis “man zaara qabra waalidaihi faqara’a ‘indahu –au ‘indahumaa– yaasiin ghufira lahu” (Barang siapa menziarahi qubur kedua orang tuanya, lantas membacakan untuk keduanya surat Yasin, maka terampuni kedua orang tuanya” [HR. Ibnu 'Addiy].
5. Hadis kisah seseorang yang tanya kepada Nabi :
“kaana lii abawaani ubirruhumaa haala hayaatihimaa, fakaifa lii ubirruhumaa ba’da mautihimaa?”
(Saat kedua orang tuaku masih hidup saya selalu memuliakannya, lantas bagaimana saya bisa berbuat baik/memulyakannya setelah wafatnya?).
Dijawab oleh Nabi:
“inna al-birr ba’da al-maut an tushalliya lahumaa ma’a shalaatika wa tashuuma lahumaa ma’a shiyaamika.”
([Kamu bisa] memulyakannya dengan menghadiahkan pahala salat-salatmu dan pahala puasa-puasamu)                           [HR. al-Daaruquthniy].
6. Hadis “iqra’uu ‘alaa mautaakum yaasiin” (Bacakanlah untuk ahli qubur kalian surat Yasin” [HR. Abu Dawud].
Jawaban permasalahan yang kedua, soal waktu, yakni kenapa ditepatkan pada hari ke-7, ke-40, dstnya.
Pertama-tama, mari kita bahas terlebih dahulu “apa itu bid’ah” secara istilah (terminologi). Definisi bid’ah yang paling terkenal di kalangan ulama adalah yang diberikan oleh Imam al-Syatibiy, yaitu “suatu tata cara di dalam agama yang diciptakan untuk menandingi (tata cara beribadah yang sesuai) syari’ah.
Kemudian untuk mengetahui dan menguji apakah tahlil pada hari-hari ke-7, ke-40, dstnya termasuk bid’ah atau tidak, kita masukkan permasalahan tersebut dalam rumus diatas lewat pertanyaan berikut:
1. Apakah perbuatan menyesuaikan acara pengiriman bacaan Qur’an, tahlil, doa, dan lain-lain dengan hitungan hari tertentu itu termasuk rangkaian ibadah tahlil?
2. Apakah penentuan hari ke-7, ke-40, ke-100 dstnya hanya sekedar kebiasaan saja dan bukan termasuk rangkaian ritual tahlil itu sendiri?
3. Adakah keyakinan bahwa acara tahlil itu harus dilakukan tepat pada hari-hari ke-7, ke-40, ke-100, dstnya (seperti menyembelih hewan kurban harus pada tanggal 10/11/12/13 bulan Dzulhijjah) sehingga seandainya dilakukan diluar hari-hari itu tahlil menjadi tidak sah dan pahalanya tidak sampai?
Sepanjang pengetahuan kami penentuan pelaksanaan tahlil pada hitungan hari-hari tertentu itu bukanlah bagian yang tidak terpisahkan dari ritual tahlil itu sendiri. Itu hanya berdasar kebiasaan saja (adat bukan ibadat) dan bukan bagian intern dari ibadah pengiriman pahala bacaan dan doa, sehingga seandainya dilaksanakan di luar hari-hari itu tetap sah dan biasa-biasa saja.
Orang-orang yang tahu tetap berpendirian bahwa tindakan menyesuaikan acara tahlil pada hari-hari tertentu itu tidak merupakan bagian atau suatu bentuk ibadah. Karena yang dimaksud ibadah disitu adalah tahlil itu sendiri. Jika demikian, maka tindakan menyesuaikan hari untuk acara tahlil itu tentu tidak bisa dianggap sebagai bid’ah.

Tahlil Munurut Imam Syafii


Bagaimana hukum Tahlilan Menurut Imam Syafii?






Akhir-akhir ini kita sering mendengar kegiatan tahlil bersama, sehubungan dengan perginya orang penting di negara ini.
Kegiatan tahlilan marak dilakukan oleh sebagian orang yang ingin mendoakan agar amal ibadah yang bersangkutan diterima oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Saya tidak ingin berpolemik dengan membahas tentang si orang penting ini, tetapi ingin sekedar membagi yang saya baca, mengenai prosesi tahlilan tersebut. Benarkah amaliah ini benar-benar di syariatkan oleh agama ini? Dan benarkah bahwa imam Syafi’i yang diklaim sebagai madzab yang diikuti oleh sebahagian besar oleh umat Islam di negeri ini menganjurkannya atau justru MELARANGNYA?
Dalam sebuah kitab kecil, selamatan kematian atau yang biasa kita sebut tahlilan dibahas secara singkat dan padat, khususnya dari pandangan imam Syafi’i sendiri. Tujuannya adalah untuk meluruskan pemahaman yang keliru dari kegiatan ini.
Ternyata kegiatan tahlilan ini dari sejak jaman sahabat dianggap sebagai kegiatan meratap yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Dari Jabir bin Abdillah Al Bajaliy, ia berkata:”Kami  (yakni para Sahabat semuanya) memandang/menganggap (yakni menurut mazhab kami para Sahabat) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (no 1612) dengan derajat yang shahih.
Dan an niyahah/ meratap ini  adalah perbuatan jahiliyyah yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam;
Diriwayatkan dalam sahih Muslim dari Abu Hurairah radiyallahu anhu. bahawa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam  bersabda:
“Ada dua perkara yang masih dilakukan oleh manusia, yang kedua duanya merupakan bentuk kekufuran: mencela keturunan, dan meratapi orang mati”.
Pandangan Imam Syafii.
Nah, bagaimana dengan pandangan imam Syafii sendiri –yang katanya- mayoritas ummat Islam di Indonesia bermadzab dengannya, apakah ia sepakat dengan kebanyakan kaum muslimin ini atau justru beliau sendiri yang melarang kegiatan tahlilan ini?
Didalam kitab al Umm (I/318), telah berkata imam Syafii berkaitan dengan hal ini;
“Aku benci al ma’tam, yaitu berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbahrui kesedihan.”
Jadi, imam Syafii sendiri tidak suka dengan kegiatan tahlilan yang dilakukan sebagaimana yang banyak dilakukan oleh ummat Islam sendiri.
Membaca Al Qur’an untuk orang mati (menurut Imam Syafi’i).
Dalam Al Qur’an, di surat An Najm ayat 38 dan 39 disebutkan disana;
[53.38] (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,
[53.39] dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.
Berkaitan dengan hal ini maka Al Hafidh Ibnu Katsir menafsirkannya sebagai berikut;
“Yaitu, sebagaimana seseorang tidak akan memikul dosa orang lain, demikian juga seseorang tidak akan memperoleh ganjaran/pahala kecuali apa-apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri.
Dan dari ayat yang mulia ini, al Imam Asy Syafii bersama para ulama yang mengikutinya telah mengeluarkan suatu hukum: Bahwa Al Qur’an tidak akan sampai hadiah pahalanya kepada orang yang telah mati.
Karena bacaan tersebut bukan dari amal dan usaha mereka. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tidak pernah mensyariatkan umatnya (untuk menghadiahkan bacaan Qur’an kepada orang yang telah mati) dan tidak juga pernah menggemarkannya atau memberikan petunjuk kepada mereka dengan baik dengan nash (dalil yang tegas dan terang) dan tidak juga dengan isyarat (sampai-sampai dalil isyarat pun tidak ada).
Dan tidak pernah dinukil dari seorang pun Sahabat (bahwa mereka pernah mengirim bacaan Al Qur’an kepada orang yang telah mati).
Kalau sekiranya perbuatan itu baik, tentu para Sahabat telah mendahului kita  mengamalkannya.
Dan dalam masalah peribadatan hanya terbatas kepada dalil tidak bileh dipalingkan dengan bermacam qiyas dan ra’yu (pikiran).”
Jadi, dari keterangan ibnu Katsir ini jelas bahwa perbuatan membaca Al Qur’an dengan tujuan pahalanya disampaikan kepada si mayit tidak akan sampai, dan demikianlah pandangan ulama besar yang dianut oleh sebahagian besar kaum muslimin di negeri ini.
Lantas, mengapa mereka berbeda dengan imam mereka sendiri?
Wallahu a’lam.
Rujukan: Hukum Tahlilan (Selamatan Kematian) Menurut Empat Madzab & Hukum Membaca al Qur’an untuk Mayit bersama Imam Syafii, karya ust. Abdul Hakim bin Amir Abdat.

Pandangan ISLAM tentang Pacaran


Pandangan ISLAM tentang Pacaran…


Bagaimana Pacaran Menurut Islam
Bagaimana pandangan Ibnu Qoyyim tentang hal ini ? Kata Ibnu Qoyyim, ” Hubungan intim tanpa pernikahan adalah haram dan merusak cinta. Malah, cinta diantara keduanya akan berakhir dengan sikap saling membenci dan bermusuhan. Karena bila keduanya telah merasakan kenikmatan dan cita rasa cinta, tidak boleh tidak akan timbul keinginan lain yang tidak diperoleh sebelumnya
” Bohong !” Itulah pandangan mereka guna membela hawa nafsunya yang dimurkai Allah, yakni berpacaran. Karena mereka telah tersosialisasi dengan keadaan seperti ini, seolah-olah mengharuskan adanya pacaran dengan bercintaan secara haram. Bahkan lebih dari itu mereka berani mengikrarkan, bahwa cinta yang dilahirkan bersama dengan sang pacar adalah cinta suci dan bukan cinta birahi. Hal ini didengung-dengungkan, dipublikasikan dalam segala bentuk media, entah cetak maupun elektronika. Entah yang legal maupun ilegal. Padahal yang diistilahkan kesucian dalam islam adalah bukanlah semata-mata kepemudaan, kegadisan dan selaput dara saja. Lebih dari itu, kesucian mata, telinga, hidung, tangan dan sekujur anggota tubuh, bahkan kesucian hati wajib dijaga. Zinanya mata adalah berpandangan dengan lawan jenis yang bukan muhrimnya, zinanya hati adalah  membayangkan dan menghayal, zinannya tangan adalah menyentuh tubuh wanita yang bukan muhrim. Dan pacaran adalah refleksi hubungan intim, dan merupakan ring empuk untuk memberi kesempatan terjadinya segala macam zina ini
Rasulullah bersabda
” Telah tertulis atas anak adam nasibnya dari hal zina. Akan bertemu dalam hidupnya, tak dapat tidak. Zinanya mata adalah melihat, zina telinga adalah mendengar, zina lidah adalah berkata, zina tangan adalah menyentuh, zina kaki adalah berjalan, zina hati adalah ingin dan berangan-angan. Dibenarkan hal ini oleh kelaminnya atau didustakannya.”
Jika kita sejenak mau introspeksi diri dan mengkaji hadist ini dengan kepala dingin maka dapat dipastikan bahwa segala macam bentuk zina terjadi karena motivasi yang tinggi dari rasa tak pernah puas sebagai watak khas makhluk yang bernama manusia. Dan kapan saja, diman saja, perasaan tak pernah puas itu selalu memegang peranan. Seperti halnya dalam berpacaran ini.  Pacaran adalah sebuah proses ketidakpuasan yang terus berlanjut untuk sebuah pembuktian cinta. Kita lihat secara umum tahapan dalam pacaran.
Perjumpaan pertama, yaitu perjumpan keduanya yang belum saling kenal. Kemudian berkenalan baik melalui perantara teman atau inisiatif sendiri. hasrat ingin berkenalan ini begitu menggebu karena dirasakan ada sifat2 yang menjadi sebab keduanya merasakan getaran yang lain dalam dada. Hubungan pun berlanjut, penilaian terhadap sang kenalan terasa begitu manis,      pertama ia nilai dengan daya tarik fisik dan penampilannya, mata sebagai juri. Senyum pun mengiringi, kemudian tertegun akhirnya , akhirnya jantung berdebar, dan hati rindu menggelora. Pertanyaan yang timbul kemudaian adalah kata-kata pujian, kemudian ia tuliskan dalam buku diary, “Akankah ia mencintaiku.” Bila bertemu ia akan pandang berlama-lama, ia akan puaskan rasa rindu dalam dadanya.
Pengungkapan diri dan pertalian, disinilah tahap ucapan I Love You, “Aku mencintaimu”. Si Juliet akan sebagai penjual akan menawarkan cintanya dengan rasa malu, dan sang Romeo akan membelinya dengan, “I LOve You”. Jika Juliet diam dengan tersipu dan tertunduk malu, maka sang Romeo pun telah cukup mengerti dengan sikap itu. Kesepakatan  pun dibuat, ada ijin sang romeo untuk datang kerumah, “Apel Mingguan atau Wakuncar “. Kapan pun sang Romeo pengin datang maka pintu pun terbuka dan di sinilah mereka akan menumpahkan perasaan masing-masing, persoalanmu menjadi persoalannya, sedihmu menjadi sedihnya, sukamu menjadi riangnya, hatimu menjadi hatinya, bahkan jiwamu menjadi hidupnya. Sepakat pengin terus bersama, berjanji sehidup semati, berjanji sampai rumah tangga. Asyik dan syahdu.
Pembuktian, inilah sebuah pengungkapan diri, rasa cinta yang menggelora pada sang kekasih seakan tak mampu untuk menolak ajakan sang kekasih. ” buktikan cintamu sayangku”. Hal ini menjadikan perasaan masing-masing saling ketergantungan untuk memenuhi kebutuhan diantara keduanya. Bila sudah seperti ini ajakan ciuman bahkan bersenggama pun sulit untuk ditolak. Na’udzubillah
Begitulah akhirnya mereka berdua telah terjerumus dalam nafsu syahwat, tali-tali iblis telah mengikat. Mereka jadi terbiasa jalan berdua bergandengan tangan, canda gurau dengan cubit sayang, senyum tawa sambil bergelayutan,  dan cium sayang melepas abang. Kunjungan kesatu, kedua, ketiga, keseratus, keseribu, dan yang tinggal sekarang adalah suasana usang, bosan, dan menjenuhkan percintaan . Segalanya telah diberikan sang juliet, Juliet pun menuntut sang Romeo bertanggung jawab ? Ternyata sang romeo pergi tanpa pesan walaupun datang dengan kesan. Sungguh malang nasib Juliet
Wahai para Muslimah sadarlah akan lamunan kalian , bayang-bayang cinta yang  suci, bukanlah dengan pacaran , cobalah pikirkan buat kamu muslimah yang masih bergelimang dengan pacaran atau kalian wahai pemuda yang suka gonta-ganti pacar. Cobalah jawab dengan hati jujur pertanyaan-pertanyaan berikut dan renungkan ! Kami tanya :
Apakah kamu dapat berlaku jujur tentang hal adegan yang pernah kamu kamu lakukan waktu pacaran dengan si A,B,C s/d Z kepada calon pasangan yang akan menjadi istri atau suami kamu yang sesungguhnya ? Kalau tidak kenapa kamu berani mengatakan, pacaran merupakan suatu bentuk pengenalan kepribadian antara dua insan yang saling jatuh cinta dengan dilandasi sikap saling percaya ? Sedangkan kenapa kepada calon pasangan hidup kamu yang sesungguhnya kamu berdusta ? Bukankah sikap keterbukaan merupakan salah satu kunci terbinanya keluarga sakinah?
Mengapa kamu pusing tujuh keliling untuk memutuskan seseorang menjadi pendamping hidupmu ? Apakah kamu takut mendapat pendamping yang setelah sekian kali pindah tangan ? ” Aku ingin calon pendamping yang baik-baik” Kamu katakan seperti ini tapi mengapa kamu begitu gemar pacaran, hingga melahirkan korban baru yang siap pindah tangan dengan kondisi ” Aku bukan calon pendamping yang baik” , bekas dari tanganmu, sungguh bekas tanganmu ?
Jika kamu disuruh memilih diantara dua calon pasangan hidup kamu antara yang satu pernah pacaran dan yang satu begitu teguh memegang syari’at agama, yang mana yang akan kamu pilih ? Tentu yang teguh dalam memegangi agama, ya Khan ? Tapi kenapa kamu berpacaran dengan yang lain sementara kamu menginginkan pendamping yang bersih ?
Bagaimana perasaan kamu jika mengetahui istri/ suami kamu sekarang punya nostalgia berpacaran yang sampai terjadi tidak suci lagi ? Tentu kecewa bukan kepalang. Tetapi mengapa sekarang kamu melakukan itu kepada orang yang itu akan menjadi pendamping hidup orang lain ?
Kalaupun istri/suami kamu sekarang mau membuka mulut tentang nostalgia berpacaran sebelum menikah dengan kamu. Apakah kamu percaya jika dia bilang kala itu kami berdua hanya bicara biasa-biasa saja dan tidak saling bersentuhan tangan ? Kalau tidak kenapa ketika pacaran bersentuhan tangan dan berciuman kamu bilang sebagai bumbu penyedap ?
Jika kamu nantinya sudah punya anak apakah rela punya anak yang telah ternoda ? Kalau tidak kenapa kamu tega menyeret Ortu kamu ke dalam neraka Api Allah ? Kamu tuntut mereka di hadapan Allah karena tidak melarang kamu berpacaran dan tidak menganjurkan kamu untuk segera menikah.
Karena itu wahai muslimah dan kalian para pemuda kembalilah ke fitrah semula. Fitrah yang telah menjadi sunattullah, tidak satupun yang lari daripadanya melainkan akan binasa dan hancur
Maka berhati-hatilah dengan “Pacaran”……………
Wallahua’lam